Inside AdSense: Stick 'em up!

Leia Mais

Sajak-sajak Mardi Luhung

Dimuat di Kompas, Minggu, 30 Maret 2008 | 01:14 WIB

Takziah Istri

Kucing Beling

Mesin jahit di atas meja. Meja di atas usungan. Usungan di atas selusin pundak. Dan di mesin jahit itu dia menjahit tubuhku yang telah digunting dan dimal. Setelah dibentang seperti 7 meter kafan. Dan ditaburi minyak serimpi. Minyak si penari yang telah membuat usia menyingkap kerahasiaannya. Membiarkan risik tertabur pada yang tak pernah mengatupkan mulutnya: “Aku ingin menghadap tanpa riasan apa pun. Aku adalah teja senja yang tak terduga!"

Tapi, selusin pundak terus mengusung dan bergerak. Seperti gerak pelayat ketika selusin cahaya tumpas. Dan arah jalan menjadi lurus. Yang di kanan-kirinya sekian kucing berjejer. Kucing beling yang bermata bening. Kucing yang terus menatap dia yang menjahit tubuhku. Dan saat itu, aku merasa, dia menyerahkan kerjanya pada gambang. Gambang yang bertalu. Yang taluannya merambat dari depa ke depa. Dan jatuh pada kening Hawa. Yang tergagap saat maut menepuk pundak Adam.

Maut yang menggandeng dan mengajak Adam menyelam ke teluk. Seperti penyu yang menyelam setelah bertelur di pasir. Seperti meteor yang berisik di langit. Yang mencari jejak henti di tempat entah. Tempat yang selalu mengawetkan lubang kubur: “Saudara, bersediakah jadi saksi atas hidup orang ini?" Ya, pintu talkin akan dibuka sehabis penguburanku nanti. Dan tubuhku yang telah digunting, dimal serta dijahit itu, tinggal dipasanginya kancing.

Nasi Pandan

“Kau tak boleh dikubur dulu sebelum mencicipi nasi pandanku!" Dan dengan kebat, dia menyorongkan sepiring nasi pandan. Nasi pandan yang punel. Yang ketika aku sendok, mengingatkan pada gumpal-gumpal cahaya yang begitu menggiurkan. Barangkali, gumpal- gumpal cahaya itu adalah daging jantungnya. Yang telah diiris segi empat. Ketika pintu diketuk. Dan kilat yang mengambang masuk. Lalu berbisik: “Wanita yang telah menjadi istri orang, memang mengiris jantung sendiri setiap membuat nasi pandan."

Dan beribu angsa menetas dari biji matanya. Beribu angsa yang pernah mengangkatku jauh melampaui akal. Sampai si jejadian yang bertanduk dan berekor itu mengernyit. Lalu teringat betapa bebalnya dirinya ketika menegak. Dan menyangka, jika penyamarannya dalam wujud ular telah mendulang aman. Lalu si jejadian pun mengibaskan sayapnya yang hangus. Dan melompat ke jendela: “Aku teringat, betapa mudahnya dulu dia aku kibuli. Betapa mudahnya!"

Dan di meja yang berpelitur dop, aku menelan nasi pandannya. Seperti kelokan umbian yang merambat, nasi pandan itu mencari arah rambatnya. Ke jantung, ke usus, ke lambung dan kembali lagi ke leher. Bolak-balik seperti menentukan arah keluar. Sedang, di luar tubuhku, hujan yang telah lama mengancam, hilir mudik seperti menanti sesuatu. Teriaknya: “Keluarkan gumpal-gumpal cahaya itu!" sambil menangis. Sambil mengharap akan ada gempa di tubuhku. Dan akan ada lubang mendadak yang akan mengeluarkan yang dinantinya.

Bukit Onik

Dia, seperti yang aku kenal belasan tahun dulu, memang masih terlihat cantik dan enak digarap. Dan langkahnya yang berjingkat pelan, seperti menabuhi lantai. Membuat tirai bergoyang. Padahal, di antara pedang samurai yang pernah aku hunus, dia cuma menjawil. Lalu berseloroh tentang pertempuran yang tak pernah dilakukan. Tetapi selalu saja dirampungkan. “Kau, lelakiku, memang milik Adam. Selalu kisruh dan selalu merasa paling unggul," sambil terus berbalik dan hilang di hutan bambu yang penuh warna.

Dan di hutan bambu itu, aku melihat matahari turun dan terbelah sama persis. Yang satu mirip kuldi. Satunya lagi tak pernah aku kenal. Apa itu jamu atau tuba? Dan ketika menjilatnya, mendadak aku menjelma sekuntum teratai. Teratai merah menyala. Teratai yang di hari-hari ganjil mewarnai bibirnya. Dan membuat senyumnya begitu indah. Senyum yang kini telah menjadi milik bukit onik. Bukit onik yang goyang karena tertakik. Tertakik oleh sebaris taklimat: “Percayalah, dia selalu menampik setiap tulang-rusuk-lelaki yang tak cermat."

“Ya, ya, dia, istriku, memang adalah Hawa. Adalah yang akan terpisah dariku. Terpisah paksa atau pasrah!" Dan aku pun jadi tahu, jika jarakku dan jaraknya telah saling melambai. Aku di seberang. Dia di jauh yang tak terukur. Dan kami, seperti sudah-sudah, kembali saling bertualang sendirian. Saling merindu. Dan saling mencoba untuk menghapus setiap amanat. Yang membuat kami pernah melahirkan pembunuh pertama. Yang akan selalu kalian kenang. Seperti mengenang kebun dan ternak di pulau. “Akh, sudah ada yang menulis namaku di kubur itu!"

(Gresik, 2007)

Telunjuk

Setelah menikam serigala dia menulis pesan di tebing padaku. Ditulis dengan tombak dan diolesi darah yang mengalir dari telunjuknya yang telah diiris sendiri. Aku ingin geraham serigala ini untukmu. Tapi kau di mana? Begitulah kira-kira pesannya. Di bawah sekali dia memarafkan namanya. Sayang dua hurufnya rusak. Kata peziarah yang pernah melewati tebing itu, namanya ditulis dengan huruf yang besar dan dalam. Seperti kedalaman keinginannya yang mencintaiku. Tapi, apa pesan di tebing itu sampai padaku? Barangkali ksatria monyet yang tahu. Sebab saat dibebaskannya aku dari pulau itu, ksatria monyet hanya membebaskan bayangan. Aku sendiri tak ada. Atau lebih tepatnya hanya diadakan oleh si perajin. Saat dia memahat 1000 patung. 1000 patung yang akan dipasang di taman utama. 1000 patung yang demikian menggetarkan. Sampai-sampai membuat si perajin sendiri ingin mengawini semuanya. Dan meminta: Tambatan, tambatan, tambatan, hiduplah! Tapi apa benar patung bisa hidup? Jika bisa, siapa yang sanggup menghidupkan? Si perajin pun jadi kecewa dan menamai dirinya Adam. Yang artinya: Yang pertama tertambat. Yang pertama kecewa. Dan ketika takdir memberinya pasangan, maka itu dinamainya Hawa. Yang artinya: Tambatan lain yang tak terlupa. Tambatan lain yang menggetarkan. Dan yang membuat siapa saja ingin menikam serigala. Lalu mengirimkan bagian tubuh serigala yang terindah padanya. Seperti mengirimkannya padaku!

(Gresik, 2008)

Tepi

Aku berada di lautan puisiku. Lautan itu tak bertepi. Aku ingin

menangkap ikan tambun kuning. Tapi, aku malah dapat yang hitam:

“Ikan tambun hitam!" Dari ikan tambun hitam aku menyuling cat.

Cat yang berliter-liter. Aku ingin mengecat semuanya. Agar

menjadi hitam seperti dekor tonil. Tonil tentang bapak

yang selalu berganti kulit.

Di dalam tonil aku mengelem rambutku. Memasang sayap dan

tengkurap di atas meja. Di depanku telah masuk tokoh. Tokoh garang

bunting 9 bulan. Kata tokoh itu: “Mainkan aku dengan yang selalu

merapikan celana dalamnya. Yang persis di depannya ada

gambar mawar disilang tengah!"

Aku buru-buru melengos. Lalu aku memberinya tikus:

“Jangan masukkan tikus ini ke pikiranmu!" sergahku. Terus

terbang ke bulan. Terbang di atas kepala para pengendus yang

berseloroh aku telah menemukan! Di bulan aku merasa rindu rumput.

Tapi rumput telah menjelma jumput. Aku ingin digambar.

Tapi siapa yang akan menggambar.

Dan aku juga merasa rindu sepedaku. Rindu pada bannya.

Rindu pada tanah yang menempel di bannya. Tanah yang telah

menumbuhkan mambang dan yang rajin menggali kuburan.

“Tapi, setiap ada yang dikubur, mengapa wajahku yang selalu tampak?"

Aku pun berbicara pada diriku sendiri. Dan aku teringat pada

sahabatku yang telah menjual ginjalnya.

Sahabatku yang pusing ketika mendengar pidato begini:

“Aduh, jangan ribut, ini negara, bukan pasar!" Dan kata sahabatku itu:

“Om, Om, itu tadi dengus kerbau kan?" Aku pun jadi tersenyum.

Senyumku demikian datar. Sedatar kaki ibu yang melayang. Kaki ibu

yang keluar dari malam. Kaki ibu yang cemerlang. Dan kaki ibu yang

mengajari aku agar berdandan:

“Oh, tanyakan apa aku mau ke pesta?" Sayangnya, di bulan tak ada

pesta. Sedangkan, di bumi, lihatlah, lautan puisiku semakin tak bertepi.

(Gresik, 2008)

Mardi Luhung tinggal di Gresik, Jawa Timur. Salah satu buku puisinya berjudul Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007).

Leia Mais

Aliansi Perokok Indonesia .::: A P I :::.

Leia Mais

sarjana_mancing

Leia Mais