Kamis, Mei 13, 2010


BERANGKAT DARI BAWAH: Secerca Gagasan Tentang Kaderisasi

Rabu, 19 Maret 08 - oleh : Sahlul Fuad
 Isu kaderisasi hampir tak pernah basi di kalangan PMII. Meski usia hampir setengah abad, persoalannya belum juga lenyap. Di sudut-sudut kamar, di warung-warung kopi, bahkan di arena-arena nasional PMII, bisik-bisik tentang kaderisasi masih membikin berisik. Begitu juga teriakan para sahabat di tingkat rayon dan komisariat, koar-koarnya pun membuat suara serak. Ini seperti mencari ujung pantai yang tak kunjung sampai.

Saat saya baca-baca buku biru PMII tentang kaderisasi secara perlahan, lalu membandingkan dengan proses kegiatan, yang dikatakan sebagai, pengaderan, saya jadi merenung sepanjang malam. Apa yang menjadikan demikian? Apakah karena ukuran-ukuran keberhasilan pengaderan cenderung abstrak dan normatif, sehingga sulit untuk dikenali secara konkret?

Baiklah, sepertinya saya perlu telaah sedikit catatan tentang kaderisasi itu. Setelah itu, saya coba mengaji realitas pelaksanaan salah satu pengaderan di sebuah tempat, sekaligus menampilkan ungkapan-ungkapan yang muncul tentang kaderisasi. Dan selanjutnya, langkah apa yang perlu kita wujudkan. Berangkat dari sini, tentu harapannya mencari solusi, bukan sekadar basa-basi.

Kaderisasi PMII, dalam Hasil-Hasil Kongres XV PMII, pada hakekatnya adalah totalitas upaya-upaya yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan untuk membina dan mengembangkan potensi dzikir, fikir dan amal soleh setiap insan pergerakan. Kaderisasi yang harus diikuti oleh anggota PMII terdiri atas tiga bentuk, yaitu Pengaderan Formal Basic, Pengaderan Formal Pengembangan, dan Pengaderan Informal.

Pengaderan formal basic meliputi tiga tahapan dengan follow up-nya, yaitu Masa Penerimaan Anggota (Mapaba), Pelatihan Kader Dasar (PKD), dan Pelatihan Kader Lanjutan (PB PMII, 2006). Pengertian dan bentuk kaderisasi ini telah ditetapkan sejak beberapa periode yang lalu. Meskipun bentuknya sama, masing-masing periode telah melakukan berbagai koreksi di sana-sini. Misalnya tentang materi dan metode pendekatannya. Anehnya, setiap periode, dan bahkan setiap ngobrol tentang PMII, ungkapan yang muncul bertubi-tubi adalah "Bagaimana sih sistem pengaderan kita?" Heran, bukan?

Beberapa minggu yang lalu, orang sekelas Anom SP saja masih sempat-sempatnya membicarakan kaderisasi. Jangankan sahabat Anom yang usianya relatif muda, apalagi isterinya juga PB PMII, politisi sekakap Slamet Efendy Yusuf pun rasanya belum muak kalau diajak mendiskusikan hal ini. Apalagi seorang sterring committee (SC) Mapaba, PKD, dan PKL, saya kira bisa tidak tidur untuk memikirkannya. Tentu saja yang dipikirkan macam-macam. Jika ibaratkan, kaderisasi itu seperti perawan cantik yang centil. Seorang perjaka maupun duda tak henti membincangkannya. Ia akan menjadi topik yang menghangatkan tongkrongan.
Dalam praktek pelaksanaan kaderisasi formal basic, yang biasa pertama kali dibahas adalah masalah peserta, berapa dan dari mana pesertanya? Di mana tempat pelaksanaanya? Siapa narasumbernya? Dan dari mana biaya untuk menanggulanginya? Urusan kurikulum, copy paste saja, rasanya sudah cukup.

Bagi salah satu SC Mapaba, PKD, atau PKL yang lain, ada juga yang selalu bersungguh-sungguh memikirkan materi dan metode yang kira-kira cocok dengan kondisi kader yang mengikuti pelatihan itu. Ketika membicarakan hal tersebut, masalah yang muncul di antaranya adalah siapa yang bisa melaksanakannya. Bisa jadi tepat sasaran. Namun, tidak jarang tidak ditemukan orangnya. Artinya, mau tidak mau kegiatan ini dilaksanakan apa adanya. Karena memang sumberdaya manusia untuk melaksanakan gagasan ini tidak senantiasa dipersiapkan. Entah karena tidak adanya sistem yang mewajibkan untuk menyiapkan, atau karena merasa sibuk dengan urusan lain. Jelasnya, pelaksanaan ini seringkali sekadar demi menggugurkan kewajiban.

Setelah pelaksanaan kaderisasi formal basic, upaya melaksanakan follow up juga sering berantakan. Banyak problem yang dihadapi. Jika menengok ke ajaran buku biru, setelah doktrinasi melalui Mapaba, kader diarahkan pada studi-studi fakultatif melalui forum small group agar kader memiliki scientific attitude mengenai persoalan aktual di berbagai bidang. Selain itu, kader juga dianjurkan untuk mengikuti studi epistemologi dan keterampilan bahasa Inggris.

Bagi pengurus rayon atau komisariat tertentu, untuk mengonkretkan gagasan ini rasanya harus merasa jago dulu, tentunya. Apalagi bagi suatu rayon atau komisariat yang belum pernah melakukannya. Dan apalagi, tidak ada senior tertentu yang secara intens mengajarkan bagaimana cara mewujudkannya. Apalagi, para pengurus ini diharapkan memberi arahan untuk menentukan pilihan bidang yang hendak dikajinya. Sekelas dosen pun terkadang masih kelabakan untuk menyusun silabus mata kuliahnya sendiri, kecuali copy paste dari departemen pendidikan. Lagi-lagi, diskusi-diskusi yang muncul adalah urusan yang tak terjangkau oleh kapasitas sumberdaya yang ada. Begitu pula tahap-tahap selanjutnya.

Saya kira, dengan tidak menyepelekan kemampuan kader-kader yang sudah bermutu tinggi, PMII perlu mengotak-atik sistem kaderisasi ini dengan target yang benar-benar terukur. Misalnya, buku apa saja yang wajib dibaca oleh pembicara untuk memberi materi pengaderan? Artinya, bukan sekadar 'kisi-kisi sekilas' dan menganggap para pembicara tahu yang diharapkan oleh pengurus besar dan seterusnya. Lalu, jenis-jenis metode penyampaian apa yang harus diikuti, dan harapan konkret apa yang harus dipenuhi oleh peserta.

Harapan yang berbunyi, "peserta bisa memahami" merupakan ungkapan abstrak yang perlu dikonkretkan, misalnya dengan nilai (score) berdasarkan tanda-tanda yang telah ditetapkan, tentu saja ini bisa berupa lembar soal multiple choice seperti questioner. Pertanyaannya pun bukan seperti ujian akhir semester, tapi ungkapan-ungkapan yang tidak perlu dipikirkan secara rumit atau dengan standar yang tinggi. Dengan indikator-indikator ini bisa tampak apakah target itu bisa terpenuhi. Namun demikian, apa yang bisa menjamin hal ini bisa dilaksanakan oleh setiap panitia? Tentu saja sistem. Yaitu adanya aturan yang mengikat. Misalnya, setiap rayon atau komisariat yang menyelenggarakan Mapaba harus melaporkan hasil kegiatannya ke pengurus cabang, berikut lembar nilainya. Cabang mencatat kembali nama-nama peserta mapaba untuk dimasukkan ke dalam data base keanggotaan PMII. Bagi pengurus rayon atau komisariat yang tidak melaporkan data keanggotaan yang mengikuti mapaba selama 12 bulan, kepengurusan tersebut dibekukan karena dianggap keanggotaannya tidak mencukupi sebagai rayon atau komisariat. Bagi cabang yang tidak melaporkan nama-nama anggota selama dua tahun berturut-turut juga dibekukan, karena tidak bisa menunjukkan autentitas keberadaan anggotanya.

Jika mencermati harapan, yang tertulis dalam buku biru, terhadap peserta Mabapa, tampaknya terdapat harapan yang berlebihan. Bagi saya, harapan yang pantas diembankan pada peserta Mapaba adalah mereka cukup tahu ada organisasi yang bernama PMII, tahu latar belakang PMII, tahu yang diperjuangkan oleh PMII, dan mereka bersedia untuk berjuang bersama PMII. Dengan target itu, sepertinya forum Mapaba sudah cukup pas. Jika beban harapan terhadap para peserta Mapaba melebihi itu, forum Mapaba diperkirakan tidak lebih 50% bisa mencapainya. Begitu juga follow up-nya, bahwa harapan untuk menjadikan kader pasca mapaba mempenyai pendekatan fakultatif adalah mimpi yang tak membumi. Terlalu banyak kendala yang dihadapi. Justru, menurut saya, mereka cukup perlu dibekali keterampilan-keterampilan dasar berorganisasi yang universal. Pertama, keterampilan mengoperasikan microsoft office (word, excel, dan power point), sekaligus cara membuat surat-surat resmi versi PMII dan cara pencatatan pembukuan versi PMII (buku agenda surat, buku keuangan, dan seterusnya). Kedua, keterampilan teknik memimpin rapat (kecil), sidang, dan teknik mengambil keputusan. Ketiga, keterampilan menyelenggarakan kegiatan (even organizer), yang mempelajari tentang teknik perencanaan kegiatan, teknik mencari dan mengelola keuangan, teknik mengundang atau menghadirkan narasumber, dan sebagainya.

Setidaknya, ketiga keterampilan dasar ini akan memberikan panduan penting di masa-masa selanjutnya, baik di PMII maupun di luar PMII, seperti kantor tempat kelak mereka bekerja. Di sinilah, PMII akan benar-benar mendidik kadernya sebagai organisator. Bagi peserta yang sudah bisa, akan beri sertifikat resmi dari PMII. Dan sertifikat ini menjadi syarat mutlak bagi kader yang ingin men(di)calonkan diri sebagai ketua rayon atau komisariat. Ketiga keterampilan dasar ini wajib diselenggaran oleh pengurus komisariat. Dan pengurus besar wajib menyediakan silabus materi hingga petunjuk teknis pelaksanaannya, baik secara online maupun cetak.

Selain ketiga hal tersebut di atas, seorang kader yang pernah mengikuti Mapaba diharapkan dan didorong untuk mengikuti diskusi-diskusi yang diselenggarakan oleh PMII maupun instansi lain, termasuk kampusnya. Bagaimanapun, kader PMII bukanlah kader yang kuper terhadap berbagai isu-isu besar, baik isu akademis, maupun isu populer. Untuk itu, pengurus rayon atau komisariat perlu menyelenggarakan diskusi-diskusi kecil mingguan yang bisa dengan membedah opini dalam koran, bisa juga masalah yang berkembang di sekelilingnya, misalnya, tentang temuan hasil penelitian yang diselenggarakan oleh kampusnya, maupun hal-hal menarik yang muncul di sekitar kampusnya, seperti, kecenderungan aktivitas mahasiswa di tempat tersebut menurut pandangan kader-kader PMII dan sebagainya.

Pada tahap selanjutnya, yakni Pelatihan Kader Dasar, kader PMII baru diperkenalkan tentang gagasan-gagasan besar PMII tentang kemahasiswaan, keislaman, dan keindonesiaan secara serius. Berbicara tentang gagasan, tentu saja berbicara tentang pemikiran, konsep-konsep, dan teori. Seseorang yang mampu berbicara tentang pemikiran, konsep dan teori bukanlah manusia biasa. Mereka adalah orang-orang, yang paling tidak, punya kebiasaan membaca buku setidaknya satu jam dalam seharinya. Mereka adalah orang-orang, yang paling tidak, terbiasa berdiskusi serius selama, setidaknya, satu jam setiap harinya. Untuk itu, seorang kader yang ingin mengikuti PKD adalah orang-orang yang berbakat, atau telah diarahkan mempunyai kebiasaan-kebiasaan membaca buku atau berdiskusi. Untuk itulah, peserta PKD mulai cukup bisa diharapkan lebih.

Para kader yang telah mengikuti PKD, menurut harapan saya, adalah orang-orang yang telah memakai kacamata PMII untuk melihat dunia. Bagaimana pun kondisi masyarakat, mahasiswa, bangsa dan negara Indonesia, dan umat Islam, serta umat manusia seluruhnya akan menjadi menarik kalau dilihat dengan cara pandang yang telah diajarkan oleh PMII, apapun dimensi atau bidangnya. Bagaimana Nilai Dasar Pergerakan (NDP) mampu dioperasionalkan untuk melihat fakta-fakta sosial, bagaimana konsep Aswaja bisa menangkap fenomena-fenomena yang ada, dan seterusnya. Bisa dikatakan, masa-masa PKD adalah masa-masa pemikiran seorang kader PMII, masa-masa pembentukan nalar kritis seorang kader PMII, dan masa-masa membuat gelisah seorang kader PMII terhadap realitas yang dihadapinya. Untuk itu, pada saat yang demikian, pendidikan epistimologi menjadi penting, dan metode analisa sosial adalah kebutuhan yang niscaya. Namun demikian, forum PKD masih belum cukup untuk mengharapkan seorang kader menjadi gemilang, karena forum PKD sangatlah terbatas, sehingga mereka cukup dirangsang untuk mencapai gagasan ideal seorang kader yang bisa mengenakan kacamata PMII dalam melihat persoalan.

Agar seorang kader PMII yang telah mengikuti PKD bisa mengenakan kacamta PMII dengan baik dan ukuran lensa yang tepat, biar tidak pusing, seorang kader tersebut harus dan wajib mengikuti pelatihan-pelatihan dasar dunia pemikiran. Pertama, mereka harus mengikuti pelatihan epistemologi. Kedua, pendidikan teori-teori dasar ilmu sosial dan/ ilmu alam. Ketiga mengikuti pendidikan usuluddin dan usul fiqh. Dan keempat, pelatihan perencanaan strategis. Setidaknya, dengan keempat alat ini, kader PMII mempunyai dasar-dasar pemahaman keilmuan yang kokoh dan sekaligus mampu merencankan program-program atau agenda-agenda strategis. Dan sebagaimana halnya, follow up pasca Mapaba, mereka juga akan menerima sertifikat resmi dari PMII, yang akan menjadi persyaratan bagi seorang kader yang ingin men(di)calonkan sebagai ketua umum cabang setempat.

Sedangkan tahap terakhir, PKL adalah benar-benar masa akhir studi seorang kader di dunia pendidikan PMII. Secara teknis organisasi telah mereka capai, secara pemikiran dan ideologi PMII telah tertanam, tinggal mengembangkan pada wilayah-wilayah spesifik yang hendak ditekuni oleh seorang kader, seiring dengan kematangan usianya dan tuntutan dunianya, dunia profesional. Kiranya, bekal yang perlu diberikan pada manusia PMII yang dewasa ini adalah masalah negosiasi, riset (penelitian), dan pendidikan kekhususan disiplin, seperti masalah ekonomi, sosial, agama, teknorkasi, hukum, politik, dan sebagainya, sesuai dengan kecenderungan masing-masing.

Saya kira, dengan sistematika ini, kader PMII yang benar-benar sesuai dengan target manusia ulul albab bisa terwujud. Semoga.

0 komentar: