Kamis, Mei 13, 2010


Perempuan Ranjang

Minggu, 06 Desember 09 - oleh : Sahlul Fuad
 Tubuh bocah itu membalik, telungkup. Kedua tangannya menekan ranjang kuat-kuat, tubuhnya pun terangkat. Kepalanya mendongak, hitam matanya menyergap bayang-bayang gelap tubuhnya. Mungkin ia bertanya, apakah itu masa depan atau masa lalunya?

“Dasa! Dasa!” panggil seorang perempuan muda di sampingnya.

Wajah Dasa tak bergeming. Sorot pandangnya tak acuh. Dia tak peduli pada suara lembut ibunya yang memanggil. Mulut mungil bocah itu tetap menyunyut lidah basahnya, lalu liurnya menetes di atas perlak merah kesayangan ibunya. Dasa sedang menikmati keindahan dunianya yang masih bersih, yang hanya diisi oleh bercak-bercak suara dan tingkah-tingkah lucu orang dewasa. Bengong di atas perlak merah tempat ia dilahirkan empat bulan yang lalu.

Di atas perlak itulah ibu Dasa melukis serangkaian perjalanan hidupnya sebagai perempuan ranjang. Selama berbulan-berbulan, perempuan itu mengalami kemalangan, lumpuh, akibat terjatuh di kamar mandi.

Di atas perlak merah itu pula, Harni menjalani ritual hidup tragis tanpa henti. Berliter-liter air seni, berkilo-kilog gram tinja, beratus-ratus kata serapah dan keluh kesahnya ia tumpahkan di sana sebagai lukisan surealis atas kehidupan negerinya. Betapa tidak, di atas sebidang negeri ranjangnya ini, mahkota Harni berkali-kali menjadi rebutan pemuda-pemuda di desanya secara paksa.

Kelunglaian gadis, yang dulunya seorang ledhek ini, tak henti jadi perguncingan warga desa. Meski tak pernah disiarkan di berita selebritis, tetapi berita-berita tentangnya selalu jadi gosip panas para tetangga.

“mh2@$%%i)*&^aaâc*... aauuoo...” Dasa meracau.

“Dasa… Dasa…” suara lembut Harni sambil senyum dan memandang Dasa yang tampak bahagia.

Kini, Dasa sudah giat menggerakkan anggota tubuhnya. Gerakan tangan dan kakinya seakan mewakili masa lalu ibunya di panggung-panggung temaram, begitu lincah dan menawan pandang. Sorot matanya tajam, entah mirip lelaki yang mana. Harni sudah melupakan semua kegelapannya yang malang. Meskipun para tetangga masih menyimpan semua kisahnya dalam sorot-sorot pandangnya yang nyalang, sang ibu muda itu sudah membuangnya bersama darah nifas saat dan setelah melahirkan.

Di perempatan jalan desa, tempat pangkalan ojek cerita, hampir tak henti menautkan segala humor dan canda pada nasib tragis Harni. Ya, Harni menjadi metafora ironi bagi masyarakat pinggiran ini.

“Bedul, kalau pulang hati-hati. Jangan cuci ‘punyamu’ di kamar mandi sendiri. Numpang tetangga saja. Kalau terserang Harni biar ada yang menolong,” suara ledekan di perempatan itu langsung disambut gelak tawa yang lainnya.

“Memangnya kamu, Sis. Sudah tubuhnya kerempeng, rokok suka minta orang, tetapi pekerjaan utamanya menebar Harni di desa-desa. Memangnya apa cita-citamu, Sis?” ledekan balik si Bedul itu pun langsung membuat kawan-kawannya terpingkal-pingkal.

Silih berganti, tutur humor dan cerita para pemuda seperti mengumpulkan serpihan-serpihan misteri cerita tentang Harni. Ada yang bilang, orang tua Harni dulu suka mempermainkan anak orang, sekarang anaknya terkena karma. Ada yang cerita, Harni itu kena kutukan, gara-gara goyangan pinggulnya membuat banyak lelaki kampung yang menyeleweng dengan ledhek.

Memang, tari tayub bukan lagi menjadi tradisi di desa itu. Sebagian besar penduduk Desa Prigi menganggap tari tayub merusak moral pemuda. Sebab, para penarinya yang biasa disebut ledhek itu tampak genit dan menggoda dengan dada. Saat sang ledhek mengalungkan selendang ke leher lelaki yang dipilihnya, lelaki itu tak bisa mengelak untuk menyelipkan kertas-kertas rupiah di sela-sela buah dada ledhek.

Di Desa Prigi tempat Harni tinggal, pagelaran tari tayub hanya terdengar sayup-sayup. Setiap kali  ada warga desa mengadakan pesta khitan atau perkawinan sudah tidak lagi menggelar tari tayub. Setiap kali ada pagelaran tari tayub di desa ini selalu saja terjadi keributan. Para lelaki tak sabar untuk bergiliran menari dengan ledhek. Mereka berebutan.

Meski banyak orang desa melihat jijik tarian jenis ini, di beberapa desa sekitar masih melanjutkan tarian ini sebagai tradisi untuk diwarisi. Bahkan, anak-anak kecil di bawah usia remaja pun disuruh orang tuanya turut berjoget di hadapan para ledhek. Jika musim pernikahan, khususnya bulan Syawal atau Mulud, para ledhek pun sibuk menerima pesanan. Karena padatnya jadwal, mereka terpaksa harus main sejak pagi bersinar hingga malam tenggelam.

“Eghr#5&#^@)*! &8^-aoewghr,” Dasa merengek, tangan dan kakinya bergerak lebih cepat.

Segera Harni meraih tubuh kecil yang hanya terbungkus kaos kutang dan celana pendek itu merapat di susunya yang mengembang. Mulut Dasa bergegas meraih puting hitam ibunya, lalu menyunyut kuat-kuat. Perlahan-lahan gerak kaki Dasa terdiam. Matanya terpejam. Nafasnya bergerak tenang. Tangan Harni tetap menahan punggung Dasa hingga terlelap.

Di usianya yang belum genap lima belas tahun, Harni bergabung dengan grup tarian tayub di tetangga desa. Mulanya dia sangat menyukai dandanan para penari tayub ini. Baginya, dandanan para ledhek ini unik dan tak pernah ada di desanya, Prigi. Bunyi-bunyian ketuk, kenong, kempol, gong suwukan, terompet, kendang, dan angklung yang menggerakkan para penari ini pelan-pelan juga menggerakkan tangan mungil Harni, menirukan gerak para penari itu.

Beberapa kali Harni menyaksikan pagelaran tarian tayub membuatnya sering menari-nari sendiri di rumah, meski tanpa musik-musik tradisional biasanya. Hingga suatu ketika, Harni diajak tetangganya ikut bertandang ke sanggar tempat kumpul grup tari ini.

Awalnya, Harni hanya mengikuti gerak tari. Lama-lama dia juga memahami tari tayub bukan sekadar gerak gemulai tangan dan tubuhnya. Mulut gadis kecil itu pun mulai terbiasa mengikuti lagu-lagu dan syair Jawa yang dilantunkan dalam tarian ini. Meski tidak mengerti arti dan maksud lagu dan syair-syair kuno itu, Harni hafal beberapa gurindam yang berisi nasihat-nasihat bijak, seperti nasihat tentang membina rumah tangga yang baik itu.

“Tayub itu berarti ‘ditata ben guyub’, nduk. Melalui tari ini kita panggil orang-orang untuk berkumpul dan menyaksikan kita, lalu kita menyampaikan pesan-pesan para leluhur kita agar kita tetap bisa rukun,” ujar mbah Somad, sang penabuh kendang suatu ketika.

Dua tahun mengabdi sebagai hamba kesenian, gadis ini seperti telah mengganti darah yang mengalir dalam tubuh sekalnya, dari darah petani menjadi seniman. Bukan sekadar ikut-ikutan karena senang. Bukan karena banyaknya uang yang terselip di balik kutang. Bukan. Juga bukan karena banyaknya keusilan para lelaki girang. Baginya, tari tayub adalah tradisi suci. Ledhek adalah pengemban amanah para leluhur yang telah mati.

Akan tetapi, Harni bukan orang suci. Belahan dada bajunya dianggap sarang setan yang selalu menggoda. Gemulai gerak tangan dan tubuhnya dianggap tarian neraka yang menggugah syahwat para pemuda.

Saat sepi menyirep desa, sekawanan pemuda mengendap-endap, mengepung rumah Harni. Satu orang sembunyi di balik pohon mangga depan rumah, berjaga-jaga mengawasi jalan desa.  Dua orang lainnya bersiap siaga di balik daun jendela. Dan dua orang lagi masuk ke kamar Harni. Mereka berdua beraksi. Satu orang langsung membungkam mulut Harni yang terlelap.

Harni terjingkat. Tubuhnya kaget merespon tangan-tangan kasar yang menyentuh badannya. Hatinya meronta-ronta. Namun, kakinya lemah. Tangannya menegang, tetapi kedua lengannya telah terikat rapat. Ingin dia berteriak kencang, namun tersumbat buntalan kain. Tubuhnya hanya bergetar. Bergetar keras. Sekeras getaran gempah yang meluluh lantakkan jiwanya. Selanjutnya, secara bergiliran mereka menistakan nasib Harni yang telah terkulai selama seminggu di ranjangnya.

Sejak itu, berbagai umpatan mengental di dada Harni, membongkah menjadi baja yang keras. Dia ingin sekali meledakkan sekuat tenaga dan suaranya. Akan tetapi, dia takut. Dia hanya bisa menggigil geram di atas ranjang. Mulutnya bungkam sepanjang waktu. Sungguh, dia begitu takut. Manakala bayang-bayang rasa yang mecabik-cabik harkatnya melintas, dia ingin sekali menusuk semua tubuh lelaki itu dengan belati, lalu menancapkan di dadanya sendiri.

“Egh… egh…” Dasa siuman. Segera Harni membuka kutangnya untuk Dasa, sambil menepuk-tepuk pahanya agar terlelap kembali.

Belum hilang rasa sakit di pangkal paha dan hatinya, siang itu, saat para perempuan buruh tani sibuk menanam padi, rumah Harni begitu sepi. Tiba-tiba, seorang lelaki sudah berada di sisi kiri Harni. Tangannya yang kokoh mendekap kasar tubuh Harni yang tak berkutik. Kembali hati Harni meronta, tubuhnya bergetar, lalu pingsan. Harni sudah tahu lagi apa yang terjadi pada tubuhnya yang sepi.

Harni, yang hanya tinggal bersama neneknya, merasa mual-mual setelah dua bulan kejadian malam itu. Dia tidak mengerti kalau salah satu sel telurnya telah terbuahi. Udara dingin yang terbiasa celam-celum melalui celah-celah diding bambu kamarnya, dirinya yakin tubuhnya dierami angin. Dia baru sadar, ketika sang nenek mengenali perubahan sikap dan tubuhnya seperti orang hamil.

Sang nenek mendesak. Harni hanya terisak-isak. Neneknya terus mendesak. Matanya berkaca-kaca, tak kuat menahan perasaannya yang terinjak-injak. Harni terus mengisak. Dadanya makin terasa sesak. Kata-katanya tertahan dalam perasaannya yang telah rusak. Dengan terbatah-batah, perempuan naas itu menceritakan kegelapan malam itu dengan suaranya yang serak.

“Maafkan saya, nek. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Jangankan melawan, bersuara pun saya tak mampu,” katanya sesenggukan.

Sang nenek itupun langsung merangkul cucu satu-satunya ini. Tangisnya mengeluarkan bulir-bulir penyesalan, karena tidak bisa melindungi kelemahannya. Inilah tangis penyesalan yang kedua kalinya. Sebelumnya, ia sangat menyesal saat ayah Harni, Parno, dituntut cerai istrinya karena berkali-kali tertangkap basah meniduri isteri orang. Sejak itu, Parno hilang meninggalkan kampungnya. Sedang isterinya telah kembali pada orang tuanya.

“Ya, Allah. Apakah ini semua karena dosa-dosa leluhur kami, sehingga Engkau limpahkan dosa-dosa lagi untuk anak cucu kami. Apa artinya permohonan ampunan yang kami lantunkan setiap saat selama ini?” suara Samina yang berkaca-kaca di pelukan cucunya.

Tidak lama setelah itu, kabar kehamilan Harni tersiar ke seluruh warga desa. Si ledhek itu, si penari tayub penggoda para suami orang, kembali menodai Desa Prigi ini. Si gadis nista itu, putri si penggoda istri orang itu, telah mengandung anak jadah. Warga kampung marah. Ketidaksukaan mereka kepada tari tayub makin meletup-letup. Harni diusir dari rumahnya. Dia dipindahkan di gubuk kosong di pinggir desa. Mereka tak rela desanya yang telah santri dirusak oleh Harni.

Samina, nenek Harni, menolak. Dia marah pada semua warga. Nenek itu berdiri di depan pintu, melawan kerumunan massa. Sambil berteriak-teriak lantang melindungi kehormatan cucunya. Kehormatan dirinya. Kehormatan keluarganya.

“Kehamilan Harni bukanlah penodaan pada desa. Ini fitnah. Justeru, kehamilan Harni adalah akibat penodaan pemuda desa. Merekalah yang seharusnya diusir dari kampung ini. Bukan Harni, cucuku,” mata Samina nanar menatap setiap wajah yang berdiri di depannya. Dan wajah-wajah warga kampung Prigi itupun tegang.

“Apakah karena cucuku seorang ledhek, lalu kalian menganggap Harni adalah setan penghisap air mani lelaki yang tak setia pada isterinya?! Harni adalah penari suci, tetapi otak para lelaki itulah yang tak pernah dicuci!!!”

“Huwa… Huwa…” Harni terkaget dari tidurnya. Suara tangis Dasa itu berasal dari bawah ranjangnya.

Perempuan ini panik. Tubuhnya tidak bisa berbuat apa-apa. Tangannya meraih-raih ke arah suara. Segera Harni berteriak minta tolong sekeras-kerasnya. Dia benar-benar panik, marah, dan takut. Tiba-tiba, beberapa orang teman grup tari tayubnya berdatangan, dan segera menggendong Dasa yang masih menangis kesakitan. Dasa ditimang-timang dalam gendongan. Rintihannya lindap dalam dekapan. Hatinya tenang. Senyum Harni mengembang. Dia merasa nyaman melihat Dasa kini aman, meski dirinya kini hanyalah seorang perempuan ranjang. 

0 komentar: