Kamis, Mei 13, 2010

PENGELOLAAN UDANG DI GRESIK
Senin, 23 Februari 09 - by : Sahlul Fuad
Pagi itu begitu licin. Semalaman air hujan membecekkan tanah liat Kali Betik, yang berada di seberang timur desa Sungonlegowo, Bungah, Gresik. Kelicinan tanah liat ini jauh lebih licin daripada tanah liat biasa. Mungkin, karena tanah ini bercampur dengan air asin.

Seorang setengah baya yang memikul gendong biru tampak berhati-hati, tetapi sangat cekatan melintasi galengan menuju gubuk para petambak. Sebut saja Shohib (45), seorang pengumpul udang para petani tambak. Dia mendatangi gubuk para petambak satu per satu untuk membeli udang segar yang baru mereka angkat dari laban.

Laban merupakan sarana penangkapan udang. Ia berada di ujung mulut tambak, berhadapan langsung dengan sungai. Ukurannya beragam, sesuai dengan ukuran besar-kecilnya tambak. Rata-rata berukuran kira-kira 3 m2. Bahannya terbuat dari kayu ulin yang tahan lama. Paling depan, berhadapan dengan sungai, dipasang jeruji rapat yang terbuat dari lidi bambu. Satu meter ke belakang di beri ruang kosong, tempat pengambilan udang yang terjebak masuk saat air sungai surut. Dan tepat di atasnya diberi papan untuk menutup dan membuka air saat sungai pasang dan surut.

Laban ini memang sebagai sarana pengaturan air saat sungai pasang dan surut. Saat air sungai pasang, papan penutup akan dibiarkan terbuka. Saat itu, air sungai masuk ke tambak. Begitu air mulai surut, segera petambak akan menutupnya kembali. Ketika malam menjelang, petambak akan pulang, sementara di dalam laban dipasang lentera tepat di atas ruang kosong itu. Saat itulah, udang-udang terjebak dalam laban yang airnya tidak lagi seimbang antara tambak dan sungai yang surut.

Pagi-pagi, setelah shalat subuh, petambak sudah berangkat ke tambak untuk mengambil hasil udang yang tertangkap. Memang, bukan hanya udang yang diperoleh. Ada berbagai jenis ikan lainnya yang mungkin masuk, seperti bandeng, belut, mujahir, dan kepiting. Akan tetapi, untuk ikan yang diternak, seperti bandeng dan udang windu, akan dikembalikan lagi ke tambak sampai saatnya panen.

Pagi itu, seorang petambak masih sibuk memilah udang tangkapannya. Dia pisahkan udang kecil dengan udang besar, karena masing-masing ukuran mempunyai harga jual yang berbeda. Kali ini, ia tidak memperoleh udang sebanyak hari kemarin. Udang kecil sekitar satu kilo tiga ons, dan udang besar hanya delapan ons untuk tangkapan kali ini.

Memang, perolehan udang dari laban tambak tidak pernah menentu. Bahkan, sepuluh tahun terakhir ini para petambak sering menyanyi sedih, karena tidak banyak udang yang mau masuk ke tambak saat babaran. Di mana saat setelah panen, tambak dibiarkan terbuka, tanpa ada jeruji yang membatasi tambak dengan sungai. Dalam keadaan ini, ikan apapun bisa keluar masuk tambak, tanpa ada razia, termasuk masuknya udang dan ikan-ikan liar lainnya untuk pendapatan sehari-hari.

Kemunduran pendapatan dari hasil tambak saat ini, menurut beberapa orang, diakibatkan semakin buruknya kualitas air laut yang menghubung ke sungai-sungai, yang mengaliri air tambak. Diduga ada pembuangan limbah industri mencemari kualitas air ini. Dan sampai saat ini, pemerintah kabupaten Gresik belum mampu menangani masalah ini.

Setelah Shohib membayar uang udang pelanggannya, ia membawa udang perolehannya ke pelabuhan desa. Di sana, para juragan besar sudah menanti para pengumpul udang seperti Shohib, yang membawa udang rata-rata mulai dua puluh limaan hingga lima puluhan kilo gram. Tidak jarang, ada juga petambak sendiri yang menjual langsung perolehan udangnya ke juragan besar tersebut.

Para juragan ini tidak langsung menjual udang-udang alami ini ke kota-kota besar, seperti Surabaya, Semarang, bahkan Denpasar Bali. Akan tetapi, sebagian udang-udang ini masih harus dikelola lagi, untuk mendapat nilai hatga yng lebih tinggi. Ada yang dikuliti dan langsung dijual, ada pula yang dikelola menjadi kerupuk udang. Selain itu, kulit udang yang telah dikupas, masih bisa dikelola lagi menjadi petis yang lezat.

Produk-produk makanan dari udang yang diproduksi dari Gresik ini telah beredar ke kota-kota besar, seperti di Jakarta dan Tokyo Jepang. Sayangnya, label-label makanan dari Gresik ini seringkali dikelola lagi dan berganti nama berasal dari Sidoarjo. Tentu saja, ini bukan kesalahan industri makanan laut Sidoarjo, tetapi memang di Gresik tidak ada industri pengelolaan sari laut. Akhirnya, penerimaan pendapatan asli daerah yang berasal dari udang tambak di Gresik tampaknya hanya berlansung tanpa intervensi pemerintah Gresik. Padahal, pendapatan perkapita dari tambak-tambak yang berada di Gresik cukup lumayan. Terbukti, banyak orang kaya di Gresik Utara berasal dari pendapatan tambak.

0 komentar: