Kamis, Mei 13, 2010

Pesimisme dan Daya Khayal
Kamis, 30 Agustus 07 - by : Sahlul Fuad
Di sebuah perkampungan desa, saya bercakap-cakap dengan beberapa orang. Awalnya, saya mendengar saja apa yang mereka bincangkan. Tapi saya tidak tahan untuk tak turut berucap setelah lama mendengar ungkapan-ungkapan bernada pesimis. Inti dari pembicaraan tersebut adalah bahwa mereka tidak percaya bahwa para petinggi negeri ini bisa memperbaiki nasib bangsa ini. Para elit bangsa ini terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, hingga lupa kondisi rakyatnya yang makin terjepit.
Nada-nada permbicaraan ini tidak terjadi di tempat itu saja. Tapi ia telah merebak di mana-mana; di televisi, di koran, di radio, dan tentu warung-warung kopi. Namun inti dari nada pesimisme tersebut tak lain adalah ingin  membangun optimisme masa depan bangsa.

Cukup aneh memang. Tradisi bicara nyinyir terhadap suatu kondisi yang kurang baik untuk mencapai suatu kondisi yang lebih baik tumbuh subur di negeri ini. Masyarakat mengharap, tapi dengan mengejek. Kenapa ini terjadi? Saya mencooba telusuri fenomena ini dari kehidupan sehari-hari dalam ruang keluarga. Sebab keluarga merupakan unit masyarakat terkecil yang memberikan pelajaran yang paling baik bagi negeri ini. Dari keluarga pula kita dapat mengintip bagaimana suatu bangsa itu terbentuk. Namun konteks ini bukan bermaksud untuk menggeneralisasinya dalam konteks nasional. Ini hanyalah cermin kecil untuk mengaca, apakah lengkung alis mata kita sudah sesuai dengan khayalan kecantikan kita.
Memacu dengan Ungkapan Pesimis

Suatu hari, di halaman belakang rumah seorang ibu sedang menjemur kerupuk yang baru diirisnya. Seorang anak lelakinya berdiri di sampingnya, membantu menata irisan tipis kerupuk ikan yang dibikin ibunya kemaren sore di atas tampah. Lamat-lamat suara mengalun dari sebuah rumah yang cukup jauh tempat itu. Itu alunan bacaan al-Qur’an bil-ghaib (hafalan) yang dibaca oleh dua orang hafidz (penghafal Qur’an) yang dikenal oleh sang ibu.
“Suara Cak Mat Jebol itu sangat indah. Terasa nyaman di jiwa,” kata sang ibu sambil menata jemurannya. “Kapan anakku bisa mengaji seperti itu?” gumam ibu tua itu, bersamaan dengan lewatnya seorang ibu tetangganya yang melintasi pekarangan belakang rumah tersebut. “Wah bu, sedang menjemur kerupuk, ya?” sapa ibu berkerudung putih itu yang berhenti sejenak. Mereka pun berbasa basi membincang pembuatan kerupuk itu, tentang bahan ikan yang digunakan, berapa kilo tepung yang digunakan, bahkan merembet-rembet ke masalah minyak tanah yang makin naik harganya. Lalu sang ibu si pembuat kerupuk pun bertanya pada tetangganya tersebut, “Suara simaan itu di rumah siapa, ya? Kapan anakku ini bisa mengaji seperti itu? Wong anakku ini malas sekali kalau mengaji. Betapa senangnya orang tua Cak Mat Jebol itu, ya bu?” begitulah kira-kira cerita itu.
Sindiran sang ibu di hadapan tetangganya itu tentu saja membuat hati sang anak cukup ciut. Ada tiga kemungkinan yang dihadapi oleh sang anak. Pertama, dia menjadi tidak suka dengan ungkapan ibunya, lalu dia marah dan kecewa, lantas minggat. Kedua, sang anak acuh tak acuh dengan dengan ungkapan minor sang ibu. Sindiran itu hanyalah angin lalu yang tak perlu dibuat risau. Ketiga, sang anak mendengar dan mencamkan harapan orang tuanya, lalu dia akan bekerja keras memenuhi kehendak sang ibu.
Gambaran ini ada kesamaan, meski tidak sama persis, dengan ungkapan-ungkapan nyinyir masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap para petinggi negeri ini. Posisi sang ibu dapat diasosiasikan dengan sosok masyarakat, sedangkan posisi anak dapat kita lekatkan pada sosok pemerintah, atau pejabat negara lainnya. Masyarakat selalu saja menggerutu dengan tingkah laku pemerintah atau pejabat negara lainnya, yang dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Mereka memandang dengan nada pesimistik terhadap kemampuan pejabat-pejabat yang dianggapnya meragukan. Bedanya, kemungkinan yang dihadapi oleh pemerintah atau pejabat negara dengan seorang anak dalam menghadapi nada-nada minor tersebut jauh lebih kompleks.
Jika si anak mendapati kenyinyiran dalam jumlah yang tidak banyak, pemerintah mendengar “suara miring” itu dalam jumlah melimpah. Orang pojok kampung menuntut empedu, orang tengah kampung menuntut paru-paru, dan orang sebelah kampung ingin baju baru. Sementara, pemerintah sekarang hanyalah sekumpulan orang yang belajar membantu, bahkan berisi orang-orang yang belum pernah mengerti arti posisi statusnya. Ya, ada banyak kisah yang tak terungkap, bahwa orang-orang yang duduk dalam pemerintah kondisinya cukup parah. Tentu ini juga masalah yang perlu dibedah di tempat yang berbeda.
Jika demikian, apa yang bisa diperbuat masyarakat? Menunggu giliran, barangkali. Menanti jatah kiriman bantuan pemerintah atas ketidakberdayaannya. Lantas, sampai kapan? Ya, kalau tidak lupa? Ya, kalau memang pasti ada? Suasana ketidakpastian menggelayuti pikiran-pikiran rakyat. Nyatanya, setelah menanti cukup lama, bantuan itu belum juga tampak nyata. Menggerutu mungkin jalan satu-satunya. Tapi apakah menggerutu terus-menerus bisa membuat kaya? Ini juga masalah. Namun apa mau dikata? Ya sudah, mungkin ini satu-satunya cara.
Menggambar Ulang Suatu Lukisan

Sepertinya orang-orang di kampung menyerah kepada nasib. Sebagaimana sebuah cerita tentang penyerahan orang kampung kepada ketidakmampuan berikut ini. Suatu ketika ada seorang mahasiswa yang aktif di LSM. Saat mereka bergaul dengan masyarakat kampungnya, dia menyampaikan sebuah gagasan tentang koperasi. Dia ingin ekonomi masyarakat kampungnya kuat, sebagaimana pesan Koperasi adalah Soko Guru Perekonomian Rakyat. Tapi orang kampung bilang apa? “Wah dik, gagasan kamu memang bagus tapi orang di sini susah diajak begituan,” jawabnya saat itu. Si orang kampung langsung menanggapi dengan pesimis.
Setelah beberapa lama kemudian, si aktivis LSM itu berhasil mewujudkan gagasannya di kampung sebelah. Lalu suatu waktu bertemu dengan orang yang pesimis tersebut, rupanya orang ini sudah mendengar keberhasilan itu. Padahal orang-orang di kampung sebelah itu sumberdayanya jauh lebih rendah di banding kampung si pesimis yang cukup kaya. Apa komentarnya kemudian? “Ya, bedalah mereka dengan kita.” Usut punya usut, orang tersebut ternyata tertarik dengan keberhasilan si aktivis tersebut, dan membicangkannya di warung kopi dengan teman-temannya, serta berencana menirunya.
Cerita ini memberi inspirasi bagi kita. Orang-orang kampung tersebut memang susah diajak berbicara dengan menyampaikan gagasan cara berkhayal. Mereka hanya ingin melihat  suatu keberhasilan. Mereka tidak mampu membayangkan suatu gagasan. Gagasan bukanlah yang berada di atas awan. Tapi gagasan adalah apa yang bisa dilihat dan dirasakan keberadaannya, lalu dicopy dalam ruang yang berbeda. Sebagaimana seorang anak menggambar ulang suatu lukisan. Bukan menorehkan lukisan dari sebuah ide yang dikhayalkannya sendiri.

0 komentar: