Kamis, Mei 13, 2010


Menakar Kekuasaan Presiden Indonesia

Jumat, 26 Juni 09 - oleh : Sahlul Fuad
 Saat perumusan Undang-Undang Dasar 1945, mungkin para pendiri bangsa ini tidak sempat membayangkan jika kelak ada seorang presiden Indonesia yang benar-benar ingin memuaskan hasrat kekuasaannya, sehingga merugikan rakyatnya. Apalagi jika kita tengok perdebatan pada saat itu, tampak mereka lebih tertarik pada pilihan antara bentuk pemerintahan republik atau kerajaan. Artinya, mereka dihadapkan pada pilihan bentuk pemerintahan kekuasaan yang dipimpin oleh seorang raja atau presiden dan/atau perdana menteri. Dengan demikian, wajar jika konsepsi kekuasaan yang diberikan pada presiden dalam UUD, ketika mereka menetapkan bentuk republik, diberi kewenangan yang sangat besar, sebagaimana kekuasaan yang dipimpin oleh raja dalam bentuk kerajaan tradisional.

Kesederhanaan konsepsi kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945 ini tampaknya benar-benar sebagai lobang besar bagi para presiden yang menjabat dalam sistem ini. Setidaknya sudah ada tiga presiden diturunkan secara paksa karena keleluasaan kekuasaan sistem ini. Atas dasar pemikiran inilah, sistem kekuasaan presiden dipangkas habis-habisan dalam proses amendemen UUD 1945 pada 1999-2002. Akan tetapi, sekecil apa kekuasaan presiden Indonesia pasca amendemen ini? Bagaimana jika dibandingkan dengan negara-negara yang maju ekonominya? Kedua pertanyaan inilah yang ingin dijawab Abdul Ghoffar dalam bukunya yang berjudul "Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju".

Pada alinea keempat pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa di antara tujuan didirikannya negara Indonesia ialah untuk "melindungi segenap warga negara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa". Untuk mewujudkan kondisi ini diperlukan seorang pemimpin yang mempunyai kekuasaan dan keinginan untuk mewujudkan semuanya.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini baru menembus angka enam persen. Sebuah angka yang belum bisa memenuhi syarat untuk menyejahterakan rakyatnya secara merata. Angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi. Pembangunan antar daerah masih timpang. Wajar saja jika para capres-cawapres Indonesia saat ini ditantang untuk mampu menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia. Karena itu para capres-cawapres berlomba menunjukkan angka estimasi pertumbuhan ekonomi ini sebagai salah satu indikator keberhasilannya kelak.

Terlepas dari realistik atau tidaknya angka estimasi yang diharapkan oleh para kandidiat ini, yang jelas mereka dituntut untuk bisa menyejahterakan rakyat Indonesia dengan segala potensi kekuasaan yang diberikan kepadanya kelak. Namun, apapun pertimbangan dan langkah yang digunakan oleh presiden nanti tetap tidak bisa keluar dari batas-batas kekuasaan yang diberikan oleh konstitusi.

Berbanding Delapan Negara Maju

Kegelisahan penulisan buku, yang awalnya adalah tesis magister hukum tata negara Universitas Indonesia ini, tampaknya adalah apakah negara yang maju ekonominya karena dipimpin dengan kekuasaan kepala negara/pemerintah yang luas atau terbatas? Berdasarkan pada perwakilan kawasan di lima benua yang Produk Domestik Bruto-nya (PDB) tertinggi, Ghoffar menetapkan delapan negara, yakni Amerika Serikat, Rusia, Jerman, Afrika Selatan, Kuwait, Jepang, RRC, dan Australia. Akan tetapi, jumlah negara yang dipilih dari lima benua ini tidak sama.

Menurut penulis, ketidaksamaan jumlah negara antar benua ini ada empat alasan. Pertama,adanya perbedaan luas wilayah di antara kelima benua tersebut. Kedua, adanya perbedaan kemakmuran yang tajam di antara negara-negara penghuni benua-benua tersebut. Ketiga,karena faktor kedekatan secara geografis dengan Indonesia. Keempat, untuk meng-covermacam-macam sistem pemerintahan, bentuk pemerintahan, dan bentuk negara yang ada di dunia sehingga diharapkan memperoleh wawasan yang lebih luas.

Setelah mendeteksi kemampuan ekonomi delapan negara yang dipilih, Ghoffar membedah dapur kekuasaan kedelapan negara itu. Melalui konstitusi masing-masing negara, Ghoffar menunjukkan kepada kita bagaimana sistem kekuasaan para kepala negara dan/atau kepala pemerintahan tersebut. Dan setelah itu, masing-masing sistem kekuasaan ini disandingkan dengan sistem kekuasaan presiden di Indonesia.

Kekuasaan Presiden Indonesia Sangat Besar

Perbedaan dan persamaan yang disandingkan oleh penulis ini adalah sepuluh pokok kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden Republik Indonesia sebagaimana diatur di dalam UUD 1945, yaitu: kekuasaan penyelenggaraan pemerintah, di bidang peraturan perundang-undang, bidang yudisial, dalam hubungan luar negeri, menyatakan keadaan bahaya, sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata, memberi gelar dan tanda kehormatan lainnya, membentuk dewan pertimbanan presiden, mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri, dan kekuasaan mengangkat, menetapkan atau meresmikan pejabat negara tertentu lainnya.

Hasil dari pesandingan ini menunjukkan bahwa kekuasaan yang dimiliki Presiden Republik Indonesia merupakan kekuasaan yang masih sangat besar dibanding atas kekuasaan kedelapan kepala negara dan/atau kepala pemerintahan tersebut. Dan dari pengalaman beberapa negara tersebut menunjukkan pula bahwa negara yang memberikan kekuasaan yang lebih besar pada pemimpinnya, justru cenderung tidak mendorong pertumbuhan ekonominya. Kasus negara Jerman pada masa Nazi, dan Cina pada masa jabatan Ketua Partai Komunis Cina (PKC) masih eksis, misalnya, kekuasaan pemimpinnya sangat besar dan pertumbuhan ekonominya sangat kecil. Sebab, ketika kepala negara dan/atau kepala pemerintahan memegang kekuasaan yang sangat besar, meminjam pendapat Lord Acton, para penguasa tersebut cenderung menyelewengkan kekuasaan tersebut (power tend to corrupt, but absolute power corrupt absolutely). Begitu negara-negara tersebut mengurangi batas-batas kekuasaannya dengan cara menerapkan cheks and balances antarlembaga negara secara ketat, justru perekonomiannya maju pesat.

Dari perbandingan antar kekuasaan presiden di beberapa negara tersebut, dapat diketahui bahwa ternyata sistem kekuasaan negara-negara maju ini banyak dikontrol oleh lembaga negara lainnya, seperti senat atau parlemen. Perbandingan tersebut juga menemukan satu kekuasaan Presiden Indonesia yang “tanpa batas” dalam hal menyatakan negara dalam keadaan bahaya. Dengan memegang kekuasaan tersebut, Presiden Indonesia bisa tidak terikat dengan konstitusi dan aturan hukum yang ada.

Perbandingan tersebut juga menemukan satu kekuasaan Presiden Indonesia yang “tanpa batas” dalam hal menyatakan negara dalam keadaan bahaya. Pada saat menggunakan kekuasaan tersebut, Presiden Indonesia tidak terikat dengan konstitusi dan aturan hukum yang ada.

Mungkinkah akibat banyaknya pokok-pokok kekuasaan yang dimiliki presiden Indonesia mengakibatkan borosnya anggaran? Ataukah karena beban berat kekuasaan yang diemban ini membuat kepala negara tak sempat mendorong kemajuan ekonomi? Atau faktor kemauan presiden untuk memajukan ekonomi rakyat Indonesia memang lemah? Sayangnya, buku ini memang tidak membahas hubungan korelatif antara kemungkinan besarnya kekuasaan dengan kemajuan ekonomi.

Namun demikian, sebagai kajian hukum tata negara, buku ini sudah menunjukkan secara akademis kepada kelompok yang mengatakan bahwa kekuasaan presiden Indonesia sangat kecil sehingga pemerintahan tidak stabil ternyata tidak benar. Asumsi kecilnya kekuasaan Presiden Indonesia ini dimungkinkan karena presiden tidak mempergunakan hak-hak konstitusionalnya secara maksimal. Misalnya,  presiden tidak mempergunakankan 50% haknya dalam pembuatan UU. Begitu pula dengan kekuasaan mengangkat Panglima TNI dan Kapolri yang sekarang direduksi melalui UU, di mana memerlukan persetujuan DPR. Selain itu banyak UU lain yang mereduksi kekuasaan-kekuasaan presiden terutama dalam hal pengangkatan pejabat tinggi negara yang mayoritas dipilih oleh DPR. Sementara presiden hanya tukang stempel dengan mengeluarkan SK saja.

Untuk itu, menurut Ghoffar, dalam waktu dekat tidak perlu dilakukan penambahan atau pengurangan lagi kekuasaan presiden. Yang perlu diiperbaiki adalah peraturan perundang-undangan second line terutama UU yang mengatur mengenai hubungan antar lembaga negara. Menambah kekuasaan presiden melalui amandemen kelima UUD 1945 akan mengembalikan bangsa Indonesia ke rezim otoriter.

0 komentar: