Kamis, Mei 13, 2010

MATI KETAWA

Jumat, 07 September 07 - oleh : Sahlul Fuad


Selama dua bulan penuh hari-hariku terjebak dalam kubangan berlumpur. Aku susah bergerak. Tekanan bertubi-tubi yang menghimpit diriku membuat kakiku tak mampu lagi diangkat. Badanku berada dalam lubang tanpa sela. Suaraku pun telah habis berteriak kencang tanpa ada yang dengar. Aku sudah tak tahan lagi untuk meneruskan kehidupan ini. Rasanya ingin bunuh diri. Tapi apa yang bisa dipakai? Aku hanya diam terpejam melemaskan semua syaraf dan otot yang bisa aku sadari.

Dalam kegalauan dan keputusasaan semua masa laluku menghambur kencang dalam dada dan kepalaku yang telah memutih. Aku susuri kehidupanku tahap setahap menggapai masa kecilku yang penuh dengan tawa dan kebahagiaan.
* * *
Aku dilahirkan dalam keluarga yang penuh dengan kecukupan. Bapakku seorang pejabat desa yang disegani. Orang bilang dia memancarkan kharisma yang luar biasa. Tak seorang pun berani menatap wajahnya yang putih bagai pualam. Kata-katanya halus, menyusup lembut dalam sukma yang mendengarnya. Hingga orang takkan pernah menyesal untuk memberikan apapun yang dipunyainya kepada keluargaku. Walaupun sebenarnya Bapakku telah menolak dengan segala hati. Namun selanjutnya, semua pemberian yang tidak dikehendakinya diberikannya kepada orang lain. Entah orang itu siapa, sampai kini pun aku belum pernah tahu.
Empat saudaraku, dua laki-laki dan dua perempuan, adalah anak yang selalu mendapatkan perhatian dari banyak orang. Mereka terlihat sopan, seperti Bapakku. Hanya aku yang paling terlihat nakal. Tapi aku paling disayang oleh seluruh isi rumahku. Aku mendapat perhatian lebih oleh kakak-kakakku, mungkin aku orangnya lucu, penuh sensasi, dan tak peduli dengan ejekan orang lain. Segala bentuk ejekan rasanya pernah dihadiakan kepadaku. Justeru karena aku tak pernah peduli itu, saudara-saudaraku menjadi bisa tertawa lepas. Sebab di luar, mereka adalah orang-orang yang pendiam. Jalannya selalu merundukkan wajah.
Hari-hari tiba-tiba berubah. Keluargaku diterpa kehinaan. Bapakku, diam-diam telah menghamili seorang pembantu rumah tangga tetangga sebelah rumah kami. Warga kampungku mengusir seluruh keluargaku keluar dari kampung itu. Aku, yang telah terbiasa terhina oleh ejekan, tak mampu menahan hinaan yang bagiku sangat dahsyat. Aku kabur memisahkan diri dari keluargaku. Hidupku terlunta-lunta di tengah kota. Melakukan apapun untuk bertahan hidup. Aku menjadi sangat sibuk, menawarkan jasa, tenaga dan sedikit pikiran. Melupakan segala masa laluku.
Semangatku untuk hidup mendapat perhatian serius banyak orang. Aku mendapatkan banyak pekerjaan, dengan gajih harian yang cukup. Malam-malam aku mengangkut buah-buahan untuk dijual di pasar induk. Tidur dua-tiga jam, merapikan mobil-mobil dan motor-motor yang parkir di pasar. Siang bergantian dengan temanku, aku pergi ke tokoh kelontong menjadi tukang angkat barang dagangan milik seorang saudagar China. Singkatnya aku berhasil mempunyai tempat tinggal yang layak, motor butut, dan cewek yang sangat setia, yang tak pernah lepas dari dekapanku, walaupun takpernah resmi menjadi pasutri.
Tiga tahun lebih kami, orang bilang, kumpul kebo. Bahkan seorang bayi berhasil dilahirkan oleh pasanganku. Kami tak terlalu dipusingkan dengan upacara perkawinan, yang konon sangat sakral. Selama tiga tahun, cewekku tak pernah menuntut aku untuk mengawininya, apalagi saat dia hamil. Dia menjalani kehamilannya tanpa kerisihan, seperti halnya orang lain yang telah meresmikan perkawinannya dalam formalitas. Namun orang-orang di dekatku selalu mengingatkan kami untuk mengikuti aturan ini. Kadang aku membantah dengan alasan, yang menurutku sangat rasional. Sebab walaupun tanpa pernikahan, kami mempunyai komitmen yang kuat.
“Bukankah inti dari pernikahan adalah komitmen, lantas apa bedanya? Daripada perkawinan hanya untuk melahirkan perceraian?” tanyaku suatu saat. Sesaat orang-orang itu hanya diam.
“Persoalannya bukan sekedar itu. Perkawinan bukan sekedar komitmen. Bukan pula karena kau dan cewekmu hidup sendiri di tempat ini. Kau punya tetangga-tetangga yang hidup dengan aturan ini. Mereka menganggap perkawinan adalah ikatan yang lebih kongkrit dibandingkan dengan sekedar komitmen. Bagaimana dengan anakmu itu nanti? Dia butuh catatan kelahiran, butuh kepastian hukum untuk mendapatkan hak-haknya sebagai anak yang hidup dalam aturan negara, aturan sekolah, dan banyak sekali aturan-aturan yang membutuhkan perkawinan orang tuanya.” Jawab salah seorang dari mereka.
“Bukannya surat-surat administrasi itu bisa dibikin sendiri? Toh, sekarang sudah bisa memalsukan dokumen-dokumen penting dengan mudah. Sudahlah, jangan terlalu merisaukan, atau malah menakuti-nakuti aku. Aku hidup dalam alam yang konkrit. Jangan bikin sesuatu yang konkrit menjadi melayang-layang, tak jelas apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh seseorang untuk menikmati hidup ini lebih apa adanya. Surat-surat itu, hanya rekayasa seseorang untuk mendapatkan sesuatu dari kita-kita, kan? Mereka hanya ingin berkuasa atas nama sebuah struktur jabatan. Biarlah hidup ini berjalan apa adanya. Tak usah mengingkari kenyataan, mempersulit keadaan yang sebenarnya bisa dipermudah.” Kilahku.
Tak lama setelah anakku yang pertama lahir, aku berhasil membuka usaha dagang pakaian. Relasiku banyak. Usahaku cepat berkembang. Omsetku semakin naik. Hampir di setiap kota aku buka cabang.
* * *
Sampai akhirnya dunia ini direnggut oleh keringat dan darah yang tiada henti. Aku tersenyum bangga saat kesengsaraan demi kesengsaraan yang aku tabur pada orang-orang yang aku sengaja benar-benar menyiksa mereka. Tiba-tiba aku pun tersenyum getir ketika seluruh keluargaku terjerembab dalam kenistaan yang dibalaskan oleh musuh-musuhku. Saat itulah, energi yang terpendam dalam setiap lekuk tubuh menegang. Wajahku terasa memerah, mataku ingin keluar, mulutku bergetar keras, dahiku mengkerut dan urat-urat dileherku bertonjolan, ingin melepas dendam ini.
Tapi jasadku tetap saja tak mampu menggerakkan kegeraman ini. Hanya khayalku yang mengembara jauh penuh strategi. Bahkan suaraku hatiku pun tak pernah mampu terekspresikan dalam simbol-simbol yang bermakna. Aku menjadi sangat dingin. Sedingin ular sawah yang lelah dalam jaring ikan sang nelayan. Aku benar-benar tak berdaya merasakan segala yang pernah aku banggakan. Tiba-tiba raungan tangis anak-anakku begitu getir terdengar. Ruangan tidurku riuh oleh suara-suara yang sangat aku kenal. Aku pun tersadar,
“Apakah aku telah diantar menuju alam abadi yang diharap dan ditakuti banyak orang?”, gumamku.
Aku menunggu jawaban. Dan aku pun masih menantinya, aku terus mengharapnya, namun tak ada kata pun yang bisa aku pahami. Isakan isteriku tampaknya memberikan isyarat dibenakku. Bahwa saatnya dunia ini harus berjalan tanpa diriku. Tak kusangka, aku merasakan sesuatu yang keluar dari dua sisi mataku. Rasanya aku ingin menemani perputaran nasib ini hingga aku merasa puas dengan segala yang aku perbuat. Aku tak rela jika kehidupan ini melangkah tanpa diriku. Karena aku takut langkahnya hanya memberikan kenikmatan-kenikmatan pada orang-orang yang tak aku harapkan.
Aku kembali marah. Dan sangat marah. Kemarahan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Tiba-tiba jantungku berdetak lebih kencang, lebih kencang, dan sampai akhirnya jemariku kembali merasakan eratnya genggaman isteriku. Pandanganku menerawang ke langit-langit. Aku menyaksikan wajah-wajah sedih, kusut, dan penuh air mata mengepungku. Aku tarik urat dan syaraf kebahagianku untuk mencipta ketenangan orang-orang di sekitarku. Namun mereka bersikukuh dengan kesedihannya. Aku pun tersenyum, benar-benar aku sudah melakukan senyum yang manis. Mereka masih saja tetap tak mau bersenyum. Mereka benar-benar angkuh dalam kesedihan. Akhirnya aku putuskan untuk tertawa sekeras-sekerasnya.
“Haaa haaa ha ha ha haaa..” tiba-tiba aku merasakan semua berhenti. Tidak ada seorang pun yang bersuara. Akan tetapi tubuhku juga tiba-tiba tak aku rasakan lagi. Aku terlelap dalam tidur panjang.
Elsas-Ciputat, 31 Desember 2005

0 komentar: