Kamis, Mei 13, 2010


Super Ekstra Eksekutif Ekpress

Minggu, 04 Nopember 07 - oleh : Sahlul Fuad
“Para penumpang yang terhormat, selamat datang di kereta api super ekstra eksekutif ekspress. Saya kepala masinis Geovani Ardiloka akan memimpin perjalanan kereta ini dengan ditemani Arika Gedhe Ayu sebagai Asisten pribadi masinis. Kereta ini akan menuju kota Banyuwangi dengan kecepatan rata-rata 210 kilometer per jam. Saat ini jam menunjukkan pukul 18.00 WIB. Kalau perjalanan kita langsung ke kota tujuan diperkirakan sampai pada pukul 00.00 WIB. Berhubung kita harus mampir-mampir lebih dahulu ke beberapa stasiun dan menunggu giliran jalur rel, perjalanan kita diperkirakan mencapai waktu selama 24 jam, yaitu sekitar pukul 18.00 WIB, semoga tidak terlambat.”
sontak para penumpang bergemuruh. Tapi suara yang keluar dari speaker kecil yang terpasang di tiap pojok gerbong tidak memperdulikan cibiran para penumpang.
“Untuk menghibur para penumpang yang terhormat, para pramugari dan awak kereta ini telah siap menemani perjalanan anda menjadi lebih nyaman, dan akan memberikan pelayanan terbaik bagi para penumpang.” Seorang pemuda berkaos oblong hitam yang duduk di bangku 13 F sekejap wajahnya berseri-seri.
“Para penumpang yang terhormat, perlu diketahui, kereta api super ekstra eksekutif ekspress ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas. Bagi para penumpang yang ingin beristirahat lebih nyaman atau berkencan dengan salah seorang awak kereta atau sudah membawa sendiri dari rumah, kami sediakan kamar khusus dengan harga khusus 120 ribu rupiah per jam. Bagi yang menginginkan pijat refleksi atau pijat plus-plus, kami juga sediakan pemijat yang handal dan seksi. Bagi yang ingin menonton film-film layar lebar terbaru, kami sediakan gerbong khusus film. Bagi penumpang yang ingin baca-baca, kami sediakan ruang perpustakaan yang dilengkapi dengan katalog digital. Dan seperti biasa, bagi yang ingin menikmati hidangan masakan kami, kami sediakan restoran. Akan tetapi sebelumnya kami mohon maaf apabila menu masakan kami belum berubah sejak dulu, yaitu nasi rames, nasi goreng yang masih belum berubah rasanya. Karena resepnya sudah paten. Untuk dapat menikmati fasilitas-fasilitas tersebut kami persilahkan kepada para penumpang yang terhormat untuk menghubungi awak kereta kami, atau mengirim sms ke 1717 dengan mengetik , demi menjaga rahasia anda. Kami atas nama awak kereta api super ekstra eksekutif ekspress menguncapkan, selamat menikmati perjalanan ini. Terima kasih.”
Kereta api super ekstra eksekutif ekspress, disingkat SE3, pun melesat cepat. Suara klaksonnya tidak pernah berhenti. Takut menabarak orang atau kendaraan yang biasa melintas di rel kereta, terutama orang-orang kampung yang biasa buang air besar di rel kereta. Tapi suasana dalam gerbong kereta laksana dalam rumah di komplek perumahan mewah. Tidak ada berisik suara pun, apalagi suara gesekan roda-roda besi yang berpapasan dengan potongan rel yang ada di setiap sepuluh meter itu.
Setengah jam pertama, para awak kereta SE3 yang cantik-cantik dengan pakaian seksi masuk ke gerbong-gerbong penumpang membagikan brosur-brosur berisi fasilitas yang diberikan oleh kereta SE3 kepada para penumpang. Tentu saja para penumpang tidak berebutan. Sebab rata-rata penumpang SE3 ini orang berduit dan selalu jaga imej. Mereka tetap duduk tenang, namun sorotan matanya terkunci pada para awak kereta. Sepertinya, beberapa penumpang telah siap menembakkan peluru hasratnya pada sasaran yang telah terkunci oleh hawa panas dalam benaknya.
*** * * ** * * ***
Perjalanan masih panjang. Masih 23 jam 30 menit. Pikir salah seorang penumpang dalam hati.Tapi jumlah penumpang kereta ini lebih dari 300 orang. Kalau setiap penumpang menginginkan fasilitas kamar, dan setiap orang satu jam, wah! tidak kebagian apa-apa saya.Penumpang itu semakin gelisah. Tapi tidak mungkin semua penumpang menginginkan kamar, kan? Sebab tidak semua orang berperilaku menyimpang. Apalagi membuang duit untuk urusan yang ini. Dia kembali berseri. Ah, tapi siapa tahu dari 300 orang ini, separuhnya menginginkan kamar. Kan, kamar tidak harus berkencan. Wajahnya kembali tampak gelisah. Tiba-tiba dia langsung mengangkat tangannya untuk diperhatikan oleh pramugari. Dan seorang pramugari dari belakang pun menghampirinya.
“Ya pak, ada yang bisa kami bantu?”
“Saya mau pesan kamar, mbak.”
“Tunggu sebentar, ya pak.” Pramugari berseragam batik, dengan rok panjang terbelah hingga pahanya terlihat itu kembali berjalan ke belakang. Lelaki yang berusia sekitar 40-an tahun itu pun tampak lega.
Sambil menunggu pramugari berkulit putih bersih datang kembali, lelaki gelap bertubuh gendut itu meraih harian sore ibukota hari ini. Dibuka-bukanya koran itu tanpa ada yang dibaca seksama. Dia hanya melihat-lihat gambar buram khas koran sore yang tinta cetaknya terlalu cair. Kereta SE3 terus melaju sangat cepat. Panorama lampu-lampu yang menyala di rumah-rumah sepanjang rel bagai kilat yang lari ke belakang dan hilang dalam kegelapan.
“Permisi, pak.” Suara itu datang seperti petasan yang meledak di depan mata lelaki itu, yang tanpa diketahui kapan petasan itu disulut. Wajah lelaki itu mendadak pucat sesaat. Dan langsung kembali memerah sumringah. Ternyata suara itu meluncur dari mulut mungil si gadis yang ditunggu-tunggunya.
“O, ya. Gimana dik?” pramugari itu tersenyum. Bukan karena dipanggil “dik” oleh lelaki itu. Tapi karena memang dia harus selalu menempelkan senyum di bibirnya yang lembut itu.
“Bapak tadi pesan kamar, kan?”
“Ya, gimana. Kapan saya bisa ke sana?” lelaki itu sudah sangat berhasrat untuk berkencan dengan para awak kereta yang tampaknya cantik-cantik itu.
“Maaf ya, pak. Untuk sementara ini semua kamar sudah di-booking orang, pak. Saya harap bapak bersabar terlebih dahulu. Nanti bapak saya hubungi kembali. Karena kami masih merapikan administrasinya dulu.”
“Sampai berapa lama?” sahutnya agak kecewa.
“Tidak lama, kok pak. Karena ternyata banyak sekali yang pesan kamar. Sementara kamar yang kami sediakan sangat terbatas. Nanti, kira-kira setengah jam lagi, kami sudah akan bisa menentukan pembagian waktunya. Bapak tenang saja. Bapak sendiri, saja?” lelaki itu menganggukkan kepalanya pasti.
“Oke.” Pramugari itu mencatatnya di buku catatannya.
“Kalau boleh tahu, berapa lama bapak ingin memakai kamar?”
“Tidak lama, kok. Satu jam saja sudah cukup.” Jawabnya sambil tersenyum dan mengerdipkan matanya pada gadis itu.
“Ah, bapak bisa saja.” jawab gadis itu manja.
“Oke bapak, nanti saya hubungi kembali.” Sambil mengelus pundak lelaki yang tampak matang itu.
Rupanya lelaki itu sangat suka dengan elusan perempuan cantik dihadapannya. Segera, dia pun melayangkan telapak tangannya meraih salah satu bagian tubuh perempuan itu. Bukan memegang. Hanya ingin menyentuh kehalusan lekuk tubuhnya. Dan perempuan itu tidak marah. Hanya tampak sedikit malu. Sebelum perempuan tinggi langsing itu memalingkan tubuh menuju gerbong tempat kerjanya, lelaki berkumis tebal itu masih menyisakan sebuah pertanyaan yang belum terluncur.
“Eh, dik. Boleh saya tanya sekali lagi?”
“Ya, pak?
“Jam berapa film akan diputar?”
“O, nanti jam 20.30.” jawabnya singkat.
“Mau temani aku?”
“Tapi, pak?”
“Tapi, kenapa?”
“Sudah empat orang yang mengajak saya.”
“Kamu sudah mengiyakan?” sambil merogoh saku belakang celananya, lalu ditariknya dompet kulit coklat merek Gucci. Isinya tampak banyak. Sekilas dari warnanya ada lima puluh ribuan dan ratusan ribu rupiah. Kemudian ditariknya beberapa lembar tanpa memperhatikan jenis lembaran yang mana. Dan disodorkannya pada gadis penyenyum itu. Tanpa disadari di antara beberapa lembar lima puluh ribuan, ada juga yang ribuan. Tapi keduanya tidak memperhatikan kertas-kertas yang terlipat dua itu.
“Ini buat kamu.”
“Nggak pak, nggak pak” gadis itu mencoba menolaknya
“Nggak apa-apa” lelaki itu memaksanya.
“Nggak apa-apa, pak?”
“Iya, nggak apa-apa”
“Ya sudah, terima kasih, pak.” Sambil menundukkan badan dan membuat sedikit sembah dengan menutup kedua tangannya sambil ditempelkan di atas rongga atas bajunya, takut terlihat kulit dadanya.
“Jangan lupa, nanti ya!” lelaki itu mengingatkan.
“Ya pak, saya tidak akan lupa seumur hidup.” Lelaki itu tersenyum bangga.
Sesaat setelah gadis si pramugari itu menapakkan kakinya menuju ruang kerjanya, tiba-tiba di saku kanan celananya terasa ada yang bergetar kencang. Telepon atau sms ini? Katanya dalam pikiran. Dia pegang getaran itu beberapa saat. Kalau telepon pasti agak lama. Tapi kalau sms pasti sebentar. Dirogohnya saku celananya. Telepon dari my sweety. Tertulis di layar ponselnya My Sweety.
“Hai sayang,” suaranya masih terbawa mesra pramugari itu.
“Aku di perjalanan nih…. Nggak tahu sampai mana? Keretanya sangat cepat… Tapi nanti katanya banyak berhenti…. Aku kira kalau super ekstra eksekutif ekspress itu tanpa berberhenti, sayang…”
“Tapi enak keretanya… Sangat nyaman… Tidak ada getaran sama sekali... Baru terasa ada getaran setelah ada telepon darimu ini... Mama sedang berbuat apa..? Jangan yang nggak-nggak, ya…? Nanti aku bawain pisang ambon yang besar dari sana, hahahaha… lho mama dapat pisang ambon dari mana?…”
“Oke, hati-hati, ya… eh, kok hati-hati… tidak kemana-mana, kan?… ya sudah. Yang anteng di rumah, ya… dah darling…”
Sudah pengantin tua juga masih saja sensitif kalau ada orang mau selingkuh. Gerutu lelaki itu dalam hati. Eh, tadi aku bilang pisang ambon, kan maksudnya bukan yang pisang beneran?! Kok dia nyambung juga?! Ah biar sajalahMau selingkuh juga kek, tidak ada urusan. Pokoknya dia tidak hamil dengan lelaki itu. Pikirnya bebas. Sambil mengambil koran sore yang tadi. Tapi kali ini dia agak mencermati tulisan-tulisan dalam koran itu.
*** * * ** * * ***
Hawa sejuk yang mengepul dari lubang-lubang air conditioner melembabi gerbong 3. Aromanya selalu wangi. Dijaga pengharum ruangan yang menempel di setiap sudut gerbong. Suasana pun hening. Tidak ada suara pun yang bisa masuk dari kaca-kaca jendela. Bahkan tidak ada sedikit pun celah di pintu depan atau belakang gerbong. Semuanya tertutup rapat oleh karet yang mempigura pintu dan daunnya. Dan suara-suara dari luar pun dihisap habis oleh peredam suara yang terpasang rapi di setiap gerbong.
Desain interior gerbong yang nyaris sempurna. Karpet yang tergelar di lantai itu, berbulu halus membuat kaki telanjang terasa dibelai manja. Pilihan warna dan coraknya pun sangat harmonis dengan warna dan sebentuk kursi penumpang yang terbuat dari kulit berkualitas tinggi. Sepanjang lantainya juga bersih, tidak ada sampah yang lampar. Ditambah lagi siraman cahaya lampu utama gerbong yang tak sekeras minuman alkohol saat membakar tenggorokan. Sinarnya lembut menyiur mata. Sedangkan untuk menyalakan lampu sorot yang bertengger di atas kepala penumpang, tinggal menekan tombol yang terletak di sandaran tangannya. Tidak perlu berdiri dulu.
Begitu juga tata letak kursinya. Tampaknya ia sengaja ditata berselang antar baris, membuat masing-masing penumpang merasa sedikit mempunyai peluang privasi untuk menikmati kesendirian atau berduaan. Akan tampak terlalu memaksa bagi seorang penumpang yang ingin memata-matai penumpang di sebelahnya.
Hawa sejuk dan suasana hening ini tampaknya memproduksi rasa kantuk di setiap mata para penumpang. Termasuk si lelaki gendut, hitam, berkumis tebal, yang berhasrat berkencan dengan awak kereta tadi. Dan tak lama setelah dia membuka-buka serta memilah-milah koran sore yang dianggapnya membosankan itu, lelaki yang ingin menemui rekan bisnisnya itu pun terlelap nyenyak.
*** * * ** * * ***
Seorang pramugari dengan kerah baju agak rendah, yang memamerkan gelombang dadanya yang besar lebih detail, mendatangi lelaki pemesan kamar tadi. Suara dengkuran dari pangkal lidah lelaki itu sangat keras dan menjijikkan. Seperti suara babi saat disembelih. Pramugari itu ragu untuk membangunkan. Tiba-tiba lelaki itu terjingkat dengan sendirinya. Matanya terbuka dan melihat sosok bidadari kereta mendekatinya.
“Maaf pak, mengganggu tidur bapak.”
“O, tidak masalah. Gimana?”
“Giliran Bapak nanti jam 05.30 pak. Gimana, masih berminat?”
“Sekarang jam berapa?” sambil melirik arlojinya yang berwarna keemasan.
“O, sudah jam delapan. Oke, tidak masalah. Kalau begitu kita nonton film saja dulu, ya?”
“Oke, mari pak kita menuju ke arah gerbong enam.” Jawab bidadari kereta itu sambil meraih kedua lengan lelaki itu mesra dengan tangannya yang berbulu lembut.
*** * * ** * * ***
“Para penumpang yang terhormat, waktu telah menunjukkan pukul 05.45 WIB. Kita telah sampai stasiun Tawang Semarang. Bagi para penumpang kereta api SE3 dengan tujuan kota Semarang, kami ucapkan terima kasih atas kepercayaannya pada kereta ini. Semoga anda menikmati perjalanan ini. Terima kasih.” Suara asisten pribadi kepala masinis itu mengudara di setiap gerbong.
Lelaki gendut itu tiba-tiba terbangun dari tidurnya yang cukup lama. Dilihatnya jam tangan yang membalut di lengan kirinya. Waktu menunjukkan 05.45 WIB. Matanya refleks melotot terkaget-kaget. Rupanya dia tertidur setelah menerima telepon dari isterinya. Busyet! Kenapa awak kereta itu tidak membangunkan aku?! Hatinya sangat kesal.
“Mas, mas,” dia memanggil seorang awak kereta yang melintas di sampingnya.
“Ya, pak?”
“Semalam saya pesan kamar. Saya tunggu-tunggu kok tidak ada panggilan?”
“Maaf pak, nanti saya panggilkan petugasnya dulu.”
Tidak lama kemudian seorang pramugari mendatangi lelaki itu. Kali ini pramugari yang mendatanginya tampak lebih senior.
“Permisi, pak. Tadi bapak menanyakan pesanan kamar, ya?”
“Ya. Semalam saya memesan kamar. Katanya suruh menunggu setengah jam. Tapi kemudian saya tertidur. Kok, saya tidak dibangunkan?! Dan sekarang sudah pagi. Lalu sekarang bagaimana?!” Kata lelaki itu dengan nada agak tinggi.
“Sebelumnya mohon maaf, pak. Semalam kami sudah mencoba membangunkan bapak. Tapi rupanya bapak tampak sangat lelah. Bekali-kali kami membangunkan bapak. Tapi tetap saja bapak tidak bangun. Mungkin bapak sedang mimpi indah, ya?” pertanyaan terakhirnya diimbuhi dengan senyum yang manis.
“Terus bagaimana?!” rupanya dia menyerah dengan senyuman pramugari yang kurang menarik itu.
“Bagaimana, ya? Karena fasilitas kamar yang kami berikan hanya untuk malam hari, bapak.”
Rupanya lelaki itu semakin sangat kecewa. Dirogohnya saku bajunya. Diambilnya sebungkus rokok. Hampir saja dia hendak melorot sebatang untuk dihisapnya. Dan memang rokoknya tinggal sebatang, yang sore kemaren akan dihisap di stasiun gambir tapi dilarang oleh petugas.
“Maaf, pak. Di sini tidak boleh merokok. Kalau mau merokok di gerbong tujuh saja.”
“Kereta api super macam apa ini?!” Bentak lelaki itu sangat keras. Para penumpang gerbong tiga pun seketika melongok ke arah pramugari dan lelaki itu berada.
Manggarai, 30 November 2006

0 komentar: