Kamis, Mei 13, 2010


GHAFAR DAN LAILA

Jumat, 07 September 07 - oleh : Sahlul Fuad

“Semalam ini saja aku ingin mendengar suaramu,” desahnya dalam hati. Ghafar tampak gelisah. Mondar-mandir dari ujung pintu depan ke ujung pintu dapur rumahnya. Harapannya untuk bertemu dengan Laila sangat mendesak hatinya. Hanya untuk mengatakan selamat tinggal dan terima kasih atas kecupannya.
Hanya lampu ruang tengah dan kipas angin besar yang masih menyala. Lampu-lampu telah dikemasnya dalam kardus. Termasuk TV, DVD, dan komputer kerjanya. Furnitur yang tersisah hanya meja tulis, dan lemari dapur yang akan tetap tinggal di kontrakan itu.Begitu pula seluruh kenangannya di rumah itu. Mungkin akan tinggal mesra bersama debu langit-langit yang tak pernah disapunya selama dua tahun sejak ia tinggal. Dan juga aroma tubuhnya mungkin tiga hari lagi meninggalkan peraduan Ghafar. Ya, 2 tahun ia menimbun kenangan dengan berbagai cerita. Alurnya pun variatif. Tak mengenal maju atau mundur. Ia mengalir tanpa kehendak yang wajar. Semua berputar seperti roda di bengkel. Kadang dimajukan, kadang dimundurkan.
Seperti halnya kisah Madekur, Ghafar telah membangun komitmen dengan gadis idamannya. Dan sebagaimana Tarkeni yang seakan tak pernah memperdulikan cintanya, Laila terus mengejar karirnya tiada henti. Sepasang kekasih yang disapih oleh obsesi-obsesi diri. Hingga suatu saat Laila tidak mau lagi mengikuti jejak Tarkeni yang mati bersanding sisi.
~~~)0oo0(~~~
Lebih kurang sebelas bulan dua puluh satu hari yang lalu, pemuda berbadan coklat, bertubuh dempal dan berambut ikal mengenal Laila di perempatan jalan. Wanita berjilbab biru muda itu menegur Ghafar untuk sekedar bertanya alamat.
“Permisi bang, jalan Pepaya Empat nomor dua puluh A sebelah mana, ya?” Tanya gadis itu sambil menunjukkan secarik kertas yang dikeluarkan dari tas tangannya.
Ghafar yang sedang berdiri dengan tas punggung menunggu taksi sangat ramah mengarahkan jari-jarinya mengantarkan pandangan Laila ke kantor tempat kakaknya bekerja. Ketika sosok yang terbungkus kain biru-biru itu menyusuri gang yang telah ditandai Ghafar tak bisa mengingkari gadis itulah citra sosok ideal dalam bayangannya. Ketika sore menuntun malam. Deru-deru kendaraan yang telah lelah mengusung tuannya kerja memadati jalanan, langkah lelah Ghafar sejenak terhenti menanti. Wanita muda berkacamata tampak mengarah padanya. Dia ingin menyapanya.
“Anda menemukan alamatnya?” Sapa Ghafar. Gadis itu tersenyum terima kasih. Bibirnya bergerak menarik seluruh wajahnya.
Hati Ghafar terasa terang dan lapang memandangnya. Rona wajah yang dilihatnya juga terlihat cerah menentramkan matanya. Tanpa berkata pun, Ghafar sudah tahu pasti jawaban yang akan meluncur.

“Anda baik sekali,” keempat kalinya suara itu melumerkan kebekuan hatinya yang pasi.

“Saya Ghafar, tinggal tidak jauh dari alamat yang anda tanyakan tadi pagi. Saya sangat senang bertemu dengan anda.”

Tiba-tiba pemuda itu mengulurkan tangannya yang terbalut kemeja coklat bermotif garis-garis. Sesaat gadis itu canggung untuk meraih uluran Ghafar yang percaya diri. Namun dengan cepat dan sigap, gadis itu mengendalikan emosinya. Ia menangkap ujung telapak pemuda yang membuatnya tersipu itu untuk menjawabnya.

“Saya Laila, terima kasih anda telah membantu saya,” jawabnya agak merunduk malu.

Dua perjumpaan Ghafar meninggalkan bayang-bayang rencana di langit-langit tempat ia merebah. Malam yang biasa selalu senyap pun mengusiknya selama beberapa hari. Hingga perjumpaan demi perjumpaan menentramkan kembali hatinya yang selalu gelisah. Ia telah menyampaikan hampir seluruh yang telah diinginkannya. Mungkin hanya percikan-percikan kecil yang tercecer tak sempat tersampaikan.

Laila pun menyambut gayuh yang sepi. Kesendiriannya diantarkan kisah-kisah hangat bersama jalan-jalan yang ia lalui bersama Ghafar. Kehangatannya terus tergugah setiap saat. Tanpa terasa, Laila menjadi simbol kehangatan di setiap pergaulan. Keceriaan demi keceriaan menghampiri semangatnya yang telah lama terkekang. Laila tak bisa pungkiri, adalah Ghafar sang penjelajah handal atas dirinya. Ia berhasil menelisik setiap lekuk kebekuan-kebekuan jiwanya. Bukan hanya itu, pemuda itu pun berhasil meracik ramuan-ramuan mujarab yang mampu mengendorkan aliran-aliran normatif yang telah lama bersarang dalam kehidupannya. Hanya beberapa saat, Laila berubah menjadi singa betina yang liar dan ganas. Sedangkan hati Ghafar semakin merana.

Di satu sisi ia bangga menciptakan sosok buas dengan sentuhannya. Di sisi lain Ghafar meradang melihat Laila yang tak bisa lagi dikendalikan. Hati Ghafar terlanjur hilang setelah ditambatkan pada Laila. Saat siang tiba-tiba mengeras setelah semalam lembam diguyur hujan, Laila hadir dalam perjumpaan dengan Ghafar yang dijanjikan. Ghafar ingin menyapa masa lalunya yang lembut. Namun Laila terlanjur meninggalkan kelembutannya dalam kenangan. Ia benar-benar Laila Baru yang diproduksi oleh koreksi-koreksi tajam yang membelai dalam perjalanan kencannya.

Ghafar sangat takut. Sebuah ketakuatan akan masa depan yang ingin direngkuhnya bersama Laila. Pemuda itu merasa khilaf dengan karya barunya. Improvisasinya yang provokatif dalam menggoret gadis idamannya dianggapnya over dosis. Prilaku Laila saat ini benar-benar membubarkan gagasannya tentang masa depan yang ingin ditempuhnya.

“Aku tidak bermaksud membuatmu begini, Laila...” ungkap Ghafar di sebuah kafe, tempat mereka biasa berbagi kisah.

“Kamu salah, bang Ghafar, justru aku menemukan diriku yang sebenarnya karena kamu. Aku justru tahu bagaimana kehidupan harus ditundukkan, seperti katamu. Bukan mengikuti kehendak nilai-nilai yang menundukkanku pada kehidupan. Terus terang, aku puas dengan caramu, bang Ghafar.” Bantah Laila.

Ghafar terperangah mendengar setiap kalimat yang didengarnya. Bukan bahasa yang disampaikan. Sebab bahasa yang keluar dari mulutnya tidak asing lagi baginya. Bukan pula isi dan makna-makna yang dilontarkan. Tapi intonasi-intonasi yang menekan pada beberapa kata yang membuat hatinya getir. Kelembutan pada setiap ujung ungkapan-ungkapannya pada masa lalu yang membuatnya lumer kini tidak ada lagi. Malah sebaliknya, kata-katanya seperti memompa adrenalinnya untuk menegang keras. Hampir saja Ghafar berteriak, “Stop!!” saat membekap kepalanya. Tapi, kata itu tertahan dalam perasaan saja. Ia hanya meremas rambutnya gemas. Dia tak bisa mengeluarkan kekesalan dan penyesalan yang menumpuk tebal dalam dadanya. Tapi, tak seluruh bagian tubuhnya bisa menyembunyikan gejolak jiwanya. Tangannya tampak mengepal keras menekan dahinya kuat ke atas. Matanya terpejam rapat sambil mencoba mencari jawaban.

Malam-malam penuh tegang kembali membayang dalam hayalan Ghafar tentang Laila seperti saat pertama ia kenal. Meski matanya tertutup rapat, bayangan Laila makin terang bercengkerama. Beberapa hari ia mencoba menenangkan jiwa. Dengan bekerja penuh konsentrasi. Beban pikirannya memang telah berkurang terbagi dengan pekerjaan. Namun, sesak dadanya masih saja tersisa.

~~)o0o(~~

Ghafar mencoba benar-benar menghilangkan secercah rasa yang masih membekas di hatinya. Kepergiannya tidak ingin menyisahkan sesal yang takkan pernah terjawab. Ia sudah datangi tempat tinggal Laila yang lalu. Tapi ia sudah tidak ada. Telpon yang pernah dipunyainya pun tak bisa lagi dihubungi. Ghafar sendiri menjadi heran, kenapa sesaat akan meninggalkan kota ini justru ia sangat ingin bertemu dengan Laila. Gadis lugu dan lembut yang pernah ada. Walaupun keluguan dan kelembutan itu kini entah telah kemana. Pagi menghujum bumi. Dengan tas di punggung Ghafar berdiri di sisi trotoar menunggu taksi. Tiba-tiba seorang gadis menghampiri menanyakan alamat sambil menunjukkan kertas kecil dari tas tangannya. “Permisi bang, alamat ini di sebelah mana ya...?” tanya gadis itu mengingatkan Ghafar 11 bulan 21 hari yang lalu.

Tebet-Talang Betutu, 030506

0 komentar: